Saturday, February 6, 2021

Emma & Eczema, Chapter 2 - When Our Life Changed

Sejak kulit Emma mulai merah-merah, kami coba atasi dengan pakai ini itu, pantang ini itu, susu ini itu, namun tidak juga membaik, kondisinya tetap sama. Baca di sini... http://myivfstories.blogspot.com/2021/02/emma-eczema-chapter-1-beginning.html

Fast forward ke bulan Juni 2018, usia Emma 7 bulan. Saat itu sekitar pukul 21.00, saya sedang siap-siap menidurkan Emma, tiba-tiba listrik padam. Kami langsung panik dan cepat-cepat membawa Emma ke mobil supaya bisa pakai AC. Emma harus selalu berada di ruangan dingin. Suhu kurang dingin sedikit saja, kulitnya langsung memerah dan mulai gatal-gatal. Apabila tidak cepat-cepat didinginkan, kulitnya akan makin merah membara dan gatalnya semakin parah. Berikutnya Emma pasti akan gesek-gesek, garuk-garuk, panik, dan menangis meronta-ronta. Di masa-masa itu, mati lampu dan tidak ada mobil di rumah adalah 2 hal paling mengerikan bagi saya.

Tidak lama di mobil, listrik kembali menyala. Saya langsung bawa Emma kembali ke kamar dan menghidupkan AC. Saya gendong Emma sambil berdiri tepat di depan AC supaya dingin, namun ternyata suhu di kamar sudah terlanjur terlalu panas bagi Emma. Dia mulai gelisah, menggeliat-geliat, dan akhirnya menggesekkan mukanya ke baju saya. Hanya 1x...



Hari itu mimpi buruk kami dimulai. Kulit di sekeliling mulut Emma terkelupas, tidak ada yang tersisa. Setiap saat, Emma berusaha menggesekkan wajahnya ke benda apapun yang berada di dekatnya; kasur, baju kami, bahunya sendiri; tangannya juga selalu mencoba menggaruk ke arah muka. Mungkin kulit mukanya terasa pedas, panas, dan perih. Sejak hari itu, Emma tidak bisa lagi digendong dengan posisi biasa, harus menghadap depan dan kedua tangan didekap supaya tidak gesek muka ke bahu atau dada kami dan tidak garuk-garuk.

Saat itu kami sangat kebingungan bagaimana menjaga agar luka-lukanya tidak kena garuk atau gesek, supaya cepat kering dan kulit barunya tumbuh. Karena semakin lama lukanya tetap basah terkelupas, semakin lama juga Emma akan merasa tidak nyaman dan menderita. Kami tidak mungkin bisa selalu siap siaga 24 jam memegangi tangannya. Terpaksa kami membuat "bedong" apa adanya untuk menghalangi tangan Emma agar tidak bisa garuk-garuk ke arah wajah. Kami menggunakan kain bedong dan ikat pinggang. Stres dan tersiksa melihat Emma terikat, tapi saat itu tidak ada pilihan. Seminggu pertama, bedong ini dipakai sepanjang hari. Bahkan kami pernah membawa Emma ke dokter kulit dengan tetap diikat bedong. 


Emma yang saat itu sedang belajar merangkak, hanya berbaring seharian. Bagi yang tahu Emma, pasti tahu bagaimana aktifnya dia. Sejak bayi, semua milestone motorik dicapai Emma lebih dahulu dibanding kembarannya; mengangkat kepala, berguling, duduk, merangkak. Selama seminggu itu, saya dan suami bergantian tidak tidur semalaman menjaga Emma supaya tidak berguling ke posisi miring atau tengkurap, takut lukanya tergesek kena sprei. Setiap dia mau berguling, kami tahan dan kembalikan lagi ke posisi telentang. Yang giliran jaga tidak tidur sama sekali, betul-betul standby nungguin Emma. Biasanya, saya shift pertama, mulai dari menidurkan sampai jam 3 pagi, suami dari jam 3 pagi sampai bangun tidur.

Semakin hari, luka-luka di wajah Emma mulai mengering.

Kira-kira seminggu setelah kejadian wajah Emma tergesek, suatu siang kami memberanikan diri membuka bedongnya dan membiarkan Emma bergerak bebas, setelah sekian lama 24 jam dibedong, hanya berbaring atau digendong/dipangku. Begitu bedongnya dibuka, Emma langsung berguling dari posisi telentang ke posisi tengkurap. Setelah itu, dia mencoba mengangkat badannya ke posisi merangkak, bertumpu pada kedua tangan dan lututnya, tapi lengannya tidak kuat, Emma langsung jatuh tersungkur, wajahnya mencium kasur. Kedua lengan Emma benar-benar kehilangan kekuatan karena terikat lurus 24/7 selama kira-kira 1 minggu. It was one of the most heartbreaking moment for me. But she didn't cry, she didn't fuss, she smiled like this. Even her eyes were smiling.


She just kept trying until her arms regained their strength. She is my little fighter.

Setelah saya ingat-ingat, sebelum kejadian Emma menggesek wajah hingga luka parah, tidur malamnya memang sudah semakin tidak tenang. Sejak lahir, Emma termasuk bayi yang mudah ditidurkan. Dia bisa tertidur sendiri tanpa perlu digendong-gendong, bahkan saat kembarannya nangis jerit-jerit di sampingnya. Tidurnya pun relatif tenang, tidak sering bangun, gelisah, atau nangis-nangis. Namun sejak sekitar bulan Mei-Juni (usia 6-7 bulan) setiap tidur Emma gelisah, sering guling-guling. Untuk menidurkan, saya harus gendong-gendong lama dengan berbagai gaya, diayun sana sini, baru bisa tidur, itupun saat diletakkan kembali gelisah. Baru saya ngerti, saat itu mungkin dia sudah mulai merasa ada yang tidak nyaman atau gatal di kulitnya.

Sejak kejadian wajah Emma luka, selama tidur malam kembarannya kami ungsikan ke kamar sebelah dijaga suster, karena khawatir kalau kembarannya terbangun dan menangis Emma akan ikut terbangun. Kalau terbangun, Emma akan mulai gelisah lagi dan semakin besar risiko dia akan gesek-gesek wajahnya.

Walaupun di saat bangun Emma sudah tidak kami pakaikan bedong, selama tidur bedong tetap harus digunakan karena tangan Emma setiap saat selalu ingin menggaruk wajah. Tidak gampang membuat bedong yang bisa benar-benar menjaga tangan Emma tidak garuk-garuk. Kain bedong yang dipakai saat bayi sudah terlalu kecil. Setelah beberapa lama dipakai, pasti akan longgar dan tangan Emma bisa lepas lagi. Suatu hari, kami mencontoh sebuah blog seorang ibu di Malaysia yang anaknya juga eczema, menggunakan headband dan bandana. Bentuknya kira-kira seperti ini :
Semua simpul kami ikat dengan longgar, jadi tidak sakit. But being the determined girl that she is, apparently she tried to pull away all night, that her wrists were tied tighter and tighter. Saat kami buka ikatannya di pagi hari untuk mandi, tangan Emma bengkak besar sekali mulai dari pergelangan sampai ke ujung jari akibat terikat kencang semalaman. Saya ingat saat itu saya sangat ketakutan tangan Emma akan cacat dan tidak bisa kembali normal lagi. Pergelangannya luka cukup dalam, bekasnya masih terlihat sampai sekarang walaupun samar. 
Pagi itu pertama kali saya melihat suami saya menangis. 

Selama proses menunggu kulit di sekitar mulut Emma tumbuh kembali, beberapa hari pertama Emma terpaksa tidak saya kasi makan, hanya minum susu saja, untuk betul-betul menjaga agar luka-luka di sekitar mulutnya cepat kering karena kalau disuapi pasti akan belepotan kotor mengenai daerah sekitar mulut dan setelahnya harus dibersihkan dengan air. Setiap kali basah artinya semakin lama proses pengeringan lukanya.

Sepanjang bulan Juni 2018 itu, selain luka akibat tergesek, ruam-ruam Emma parah sekali. Bukan hanya di wajah, tapi juga di lengan, punggung, perut. 



Garuk-garuk sudah jadi aktivitas alami buat Emma. Setiap saat, tangannya akan mencoba menggaruk wajah, lengan, kaki. Garuknya tidak pelan, tapi keras sekuat tenaga. Yang tergaruk PASTI akan luka. Kami harus mengawasi tangannya setiap saat. Setiap dia mau garuk, kami segera tangkap. We became expert, our reflexes were as fast as lightning 🙄. Saat jaga Emma dan kembarannya sendirian, mata harus selalu tertuju ke Emma, mengikuti setiap gerakan tangannya. Kembarannya terpaksa hanya dilirik dari sudut mata saja, karena Emma benar-benar tidak bisa lepas penjagaan sedikit pun. Garuk artinya luka, luka artinya kemungkinan infeksi. Sebisa mungkin, selalu cari angle di mana bisa mengawasi keduanya, tapi tetap posisi diusahakan paling dekat ke Emma. Setiap memangku Emma, kedua tangan dijaga dalam genggaman tangan. Saat dia mau pegang mainan, saya tetap memegangi tangannya dan ikut pegang apa yang dia pegang. Tidak pernah bisa dilepas sendirian. 

Setiap hari dan setiap saat menegangkan dan melelahkan, terutama secara mental. Mengganti popok Emma tidak bisa lagi dilakukan sendiri, harus ada 1 orang yang memegangi tangannya. Begitu pula dengan memandikan, cebok, mengganti baju, mengolesi krim dll.

Selama bulan Juni, kami tidak keluar rumah sama sekali. Kami bahkan tidak bisa keluar kamar karena di ruang tamu atau ruang keluarga kurang dingin. Kami tidak pernah lagi jalan-jalan seputar komplek atau ke taman jogging, Emma sama sekali tidak bisa kena panas. Kalau mau pindah ruangan, harus dipastikan ruangan yang dituju sudah dingin. Dingin standar Emma berbeda dengan standar normal, harus dingin sekali, sekitar 23 derajat ke bawah.  Kami sampai pasang termometer di dinding kamar supaya selalu aware kalau suhu ruangan kurang dingin.

Suatu kali, di tengah malam Emma tiba-tiba meronta-ronta dan nangis jerit-jerit. Kami coba tenangkan tidak bisa, tetap menjerit-jerit. Akhirnya karena bingung dan panik, kami menyalakan lampu. Ternyata wajah Emma sedang merah membara, kami tidak mengerti kenapa. Lupa idenya dari mana, waktu itu akhirnya kami kompres air es dan dia berangsur jadi lebih tenang. Sejak itu, setiap malam kami selalu sediakan mangkok berisi air dan sapu tangan untuk kompres. Dalam 1 malam, bisa berkali-kali Emma dilap, dikompres, dan diolesi cream kembali. Setiap dia mulai rewel atau gesek-gesek dalam tidur, wajah dan lehernya dilap air dingin.

Akhir Juli 2018, kami memberanikan diri keluar rumah untuk merayakan ulang tahun ayah saya di restoran di salah satu hotel. Itupun beberapa hari sebelumnya, ibu saya survei lapangan secara teliti dan menyeluruh untuk memastikan semua sesuai dengan kebutuhan Emma. It was really like a breeze. Hampir 2 bulan terkurung di rumah, bahkan hanya di kamar. 

Selama di hotel, semua berjalan baik, Emma tenang. Bahkan di sore hari, kami sempat duduk-duduk di pinggir kolam renang karena cuacanya kebetulan cukup adem dan banyak angin. Saat sampai di rumah sekitar jam 7.30 malam, waktu mau dibersihkan dan diganti baju, tiba-tiba muka Emma merah, mulai jerit-jerit, dan meronta mau garuk-garuk. Lagi-lagi kami tidak mengerti kenapa. Entah debu di mobil, atau sisa asap rokok yang menempel di baju supir, no idea.

Di akhir bulan Juli, salah satu ruam di pipi kanan Emma jadi basah (oozing). Kami coba kasi Desitin atas saran seorang teman; ruam basah anaknya berhasil kering pakai itu; lalu ditutup perban. Setiap hampir kering, tergesek lagi dan basa lagi. Kami coba pakai Betadine salep, sempat hampir sembuh lalu kembali lagi. Begitu terus. Di awal Agustus sempat kering, namun persis di sebelahnya muncul yang baru lagi, bahkan lebih lebar. Pertengahan Agustus, spot itu basah lagi bahkan melebar, dan muncul ruam basah baru di pipi kiri.

Wednesday, February 3, 2021

Emma & Eczema, Chapter 1 - The Beginning

Ini adalah bagian pertama cerita eczema Emma. Simply because there are so much to tell about those times...

Saat lahir, kulit Emma normal-normal saja, seperti bayi pada umumnya.



Suatu hari di usia 1,5 bulan, muncul seperti whiteheads kecil-kecil di pipi dan leher. Waktu itu, saya habis makan pizza dan pasta yang banyak mengandung keju, saat itu saya pikir mungkin alergi. 


Di sekitar usia 3,5 bulan, semakin jelas terlihat bintik-bintik merah di wajah, terutama di daerah pipi. 


Karena curiga alergi dan saat itu Emma minum ASI, saya coba diet eliminasi. Tapi setelah sekian banyak makanan saya pantang, tetap saja Emma merah-merah. Sampai akhirnya saya cuma makan nasi dan daging sapi, sesekali dengan sayur bening dan kecap. 

Setiap vaksin, saya selalu tanyakan masalah kulit Emma ke dokter, walaupun saat itu belum terasa terlalu mengganggu. Kata dokter, kulit Emma sensitif, jadi perlu penanganan khusus. Tidak boleh mandi air panas/hangat, tidak boleh pakai minyak telon dan sebagainya, tidak boleh terkena pewangi walaupun itu baby cologne dan sejenisnya, tidak boleh kena sinar matahari langsung, etc etc. Sejak saat itu, saya stop pakai lotion, parfum, atau apapun di badan saya karena pasti akan terpapar ke Emma, begitu juga dengan semua orang yang berdekatan dengan Emma. Setiap dokter yang kami temui menyarankan krim dan sabun yang berbeda-beda. Lactacyd, Cetaphil, Sebamed, Atopiclair, and so on. Semuanya nggak ada yang bikin ruam-ruamnya hilang.

Akhirnya, kami berkonsultasi dengan seorang dokter subspesialis alergi dan imunologi anak kenamaan di Jakarta, atas dasar rekomendasi dokter anak yang menangani Emma sejak lahir. Menurut dokter tersebut, Emma kemungkinan alergi, dan menyarankan untuk mengambil panel tes 55 alergen di Laboratorium Pramita, biayanya di atas 2 juta rupiah. Hasil lab semuanya negatif, saya kirimkan ke dokter via WA. Kami diminta datang konsultasi. Saat konsultasi, saya berikan kertas hasil lab kepada dokter, beliau baca, kemudian bilang bahwa tes menunjukkan Emma tidak ada alergi, karena hasil labnya negatif semua. Jadi, mulai saat ini saya tidak perlu pantang apapun. Lalu beliau memberikan selebaran berjudul "Hidup dengan alergi" dan menyarankan sabun Cetaphil dan Atopiclair cream dan lotion. Oke sip.
 
Singkat cerita, akhirnya saya berhenti ASI dan beralih ke susu formula (sufor). Awalnya saya kasi Enfamil, sufor yang saya gunakan sebelum Emma mulai full ASI, namun kemudian beralih ke Neocate LCP karena menurut seorang dokter gizi subspesialis anak yang saya datangi, gejala klinis/fisik berupa ruam-ruam menunjukkan bahwa patut dicurigai Emma alergi susu sapi. Susu ini harganya wowww namun memang yang paling aman bagi anak alergi susu sapi. Setelah beberapa minggu menggunakan Neocate LCP, pernah saya tanya ke dokter apakah boleh coba Nutramigen, dan dokter mengiyakan. Setelah minum Nutramigen, wajah Emma makin memerah, akhirnya kembali ke Neocate LCP.

Setelah sekian lama minum Neocate LCP, kulit Emma tidak membaik. Bintik merah, ruam, tetap muncul di sana sini. Kami coba obati sebisa kami, coba krim ABC sampai Z, eksperimen dengan home remedy seperti Apple Cider Vinegar, namun tetap tidak ada perubahan.

Friday, July 17, 2020

Plastik alas tempat tidur Emma

Tanggal 5 Juni 2020, tanggal bersejarah. Plastik yang selama in dipakai Emma buat alas tidur (melapisi di atas sprei), bisa dilepas. Plastiknya plastik meteran yg tebal, mirip dengan plastik untuk taplak meja. Buat apa? Supaya kalau Emma gesek-gesek muka dan lehernya selama tidur atau saat terbangun; yang pasti terjadi setiap malam, ga hanya sekali, multiple times; kulitnya nggak luka.

Papanya Emma dapet ide ini dari blog seorang bapak yang juga punya anak eczema. It was amazing to realize that we were not the only one struggling with finding solution to keeping our baby from making new wounds every night. It was THE BEST idea so far, and a life saver.

Sebelum pakai plastik, kami pakai scarf mama saya yang bahannya paling halus, ukurannya panjang jadi cukup untuk menutupi tempat tidur dari ujung ke ujung, lebarnya dari sekitar pinggang sampai ke atas kepala. Karena cuma 1 yang sehalus itu, scarf itu kami pakai cuci kering. Kalau hujan dan malam hari scarf itu belum kering, deg-degan.. Harus dikeringkan dengan hair dryer. Pernah juga mbak lupa nyuci dan baru ingat sore hari. Deg-degan.. Pokoknya, gimana caranya, scarf itu harus dipakai setiap Emma tidur. Ga kebayang tanpa itu. Dengan pakai alas saja, pagi hari mukanya banyak lecet, apalagi lehernya waktu parah-parahnya, setiap bangun tidur basah lagi, basah lagi. Ini sudah kami jagain sebisanya, setiap Emma gesek kami pegangin, usapin area yang gatal, kasi krim, kompres air dingin, etc. Apapun caranya biar nggak gesek-gesek, biar nggak luka. Kami nggak bisa jaga 100% selama dia tidur, karena kami juga butuh tidur.

Sejak pakai plastik, tidur kami lebih tenang. Nggak lagi khawatir ada luka-luka parah baru di pagi hari. Lecet sedikit-sedikit ada. Karena di saat gatal, Emma akan gesek sangat keras dan berulang-ulang, terus menerus. Jadi kalau area yang digesek ada rash yang dalam keadaan basah, atau kulitnya belum tumbuh sempurna, pasti akan kebuka lagi karena gesekan, walaupun sudah di atas plastik.

Saya memberanikan diri buka plastik Emma setelah beberapa kali tidur siang saya perhatikan dia nggak gesek-gesek lagi. Tanpa plastik pasti lebih nyaman, nggak panas. Saya bukan nggak tahu kalau tidur di atas plastik itu panas (seperti mungkin beberapa orang kira ✌). Saya cuma nggak tahu alternatif yang lebih baik buat kondisi yang ada. Menurut saya, plastik dengan segala pros dan consnya, adalah pilihan terbaik selama ini.

Sayangnya waktu buka plastik itu, saya lupa ambil foto tempat tidur Emma saat masih pakai plastik. Bittersweet memory. Bitter karena it wasn't a happy time when we were using it. Sweet karena plastik itu penolong hidup kami dan Emma. 

Waktu ubek-ubek foto di hp, nyari siapatau ada foto plastik tempat tidur Emma, ternyata saya nemuin satu-satunya foto tempat tidur Emma lengkap dengan plastiknya, persis tanggal 5 Juni 2018. But the picture is too heartbreaking to share. I keep it in a separate folder, with many other heartbreaking pictures. It's tough to see. But I need to revisit it from time to time to remind me that it was that bad, but look at where she is right now. Praise the Lord.

Tuesday, May 5, 2020

New clothes for Emma


Looking at this picture of her, it feels like a dream. I have been keeping this dress for quite a while, waiting for the miracle to happen.

In March 2019, she developed a trouble spot at the back of her neck. Some days it disappears, the other days it reappears with a vengeance.
Around April, it spread even farther to her upper back. It was so itchy that she would rub it to anything that comes into contact with it, her clothes, the bedsheet, the wall when she leans againts it; making it weeping and wider. We tried to put bandage on it, to keep it from getting rubbed, especially during sleep, but she always managed to take it off. 

I took the following picture in June 2019. It's still painful for me having to look at these pictures again.

It got more troublesome that we had to cut the neckline of all her clothes, making it wide enough so the fabric doesn't come in touch with the trouble spot unless she would be so irritated. We turned all her clothes into off-shoulders-like. 

Off-shoulders have to be tailored to make it fit around the body and not drooping while worn, and her clothes were not. So all her clothes would drop down, uncovering her skin more than we would like to show. Whenever we go out, people would make comments like "Why isn't she wearing any clothes? Is she hot?" (Literally, orang nanya "Kok telanjang???" padahal jelas-jelas dia pakai baju).

As time went by, she got more used to not being covered around the neck, upper back, and shoulders. Eventhough there were no prominent rashes on her shoulders, she would be so irritated and panicked if her clothes touch them. So we had no choice other than giving her the "off-shoulders". Even tanktops are still uncomfortable and painful for her to wear.

This March, the trouble spot suddenly disappear. She went from this on March 12th, 2020 :
to this on March 26th, 2020 :
At first, she still couldn't tolerate any fabric. I tried to put her on an uncut t-shirt, she panicked and started pulling the neckline wider to uncover her back and shoulders, so I took it off again. The next time I tried, she wore it comfortably for 5 minutes and then started panicking, I took it off again. I forget how many days after that, but I think it was still in the same week, she managed to wear a normal clothes and didn't panic at all.

I have been keeping so many clothes for her in a box. Pretty dresses and t-shirts that I haven't got the heart to cut yet. Everytime I put clothes into that box, I say to myself "There will come a day when she will be able to wear this.", and I pray to God to make it happen someday. And now it's really happening. Praise the Lord!

Thursday, June 27, 2019

Adopsi = pancingan?

Salah satu saran yang paling menyebalkan yang saya terima selama masa-masa menanti keturunan adalah "Angkat anak aja..buat pancingan..". Mungkin ada orang yang setuju dengan ide atau prinsip ini. Tapi kalau saya sih 100% nggak setuju.

In a sense mungkin benar kalau mengadopsi anak itu bisa jadi "pancingan" agar pasangan tersebut akhirnya bisa memiliki anak kandung. Maksudnya..setelah mengadopsi anak, beban menanti keturunan jadi berkurang, stres menurun, ada anak yang jadi penghibur hati. Secara tidak langsung, hal-hal ini berkontribusi terhadap perbaikan kesuburan pasangan tersebut, sehingga bukan tidak mungkin akhirnya mereka akhirnya memiliki anak kandung.

Tapi mengadopsi untuk pancingan? Yang mau diadopsi itu anak manusia lho. Bukan cacing yang dipakai buat umpan saat mancing. Bukan benda mati. Masa manusia ciptaan Tuhan disamakan dengan umpan. Such a degrading term and way of thinking.

Cara pandang seperti ini yang membuat saya dulu sangat sangat sangat menolak ide adopsi. Padahal sebenarnya tidak ada yang salah dengan adopsi. Hal itu adalah perbuatan yang sangat mulia. And I adore people who do it out of love and compassion and willingness to share their love and family to others who need it. Di Amerika (dan mungkin negara-negara Barat lainnya), banyak pasangan yang sudah memiliki (banyak) anak, kemudian mengadopsi anak lagi, kadang beberapa orang. Banyak yang mengadopsi anak di luar ras mereka. Menurut saya mereka hebat. Saya ngurus anak 2 aja udah kelimpungan. Tapi mereka rela memberikan tenaga, kasih sayang, dan materi yang mereka miliki untuk orang lain yang tidak berhubungan darah dengan mereka. Dengan alasan apa? Love and compassion. Because they can and want to, and because those children need a family. Bukan buat pancingan.

Di Indonesia, anak adopsi terkadang (atau sering?) dipandang sebelah mata. Orang membicarakannya di belakang dengan nada berbisik, "Itu bukan anak kandung mereka, itu anak angkat.". Kenapa? Mungkin karena dalam persepsi kita, adopsi anak itu hanya untuk pancingan. That's why we talk about it behind closed doors, as if it's embarassing.

Waktu itu, saya mendapatkan saran tersebut dari seorang saudara dekat, saya memanggilnya tante. Di sebuah acara keluarga, kebetulan kami duduk bersebelahan. Tanpa pembicaraan pendahuluan, si tante bilang "Kalian angkat anak aja, tapi cewek ya. Buat pancingan.". Saya spontan menjawab "Ohh nggak tante, kami nggak ada pikiran ke sana". And after that silence...krik krik krik....

Wednesday, May 15, 2019

Please watch your words

Saya percaya pengalaman buruk atau tidak mengenakkan selalu meninggalkan pelajaran bagi yang menjalaninya. kalau kita mau mencoba melihatnya lebih dalam.

Pengalaman saya baru ketemu jodoh di umur 30+ mengajari saya menahan mulut untuk tidak bertanya kepada teman/saudara yang masih single "Kapan nih undangannya?" atau "Gimana, udah dapet pacar?".

Pengalaman saya menunggu hampir 6,5 tahun baru akhirnya dikasi anak oleh Tuhan (yang di-bold ini perlu penekanan soalnya banyak orang suka lupa kalau anak itu hak prerogatif Tuhan jadi sibuk nanyaaaa melulu ke yang bersangkutan) mengajari saya menahan mulut untuk tidak bertanya "Udah isi belum?, atau "Kapan nih...? (sambil elus2 perut si "korban").

Pengalaman saya punya anak yang kulitnya suka merah2 sehingga sering mengundang perhatian orang mengajari saya untuk tidak bertanya atau mengomentari apa yang aneh/kurang dari seseorang, tetapi mencoba mencari hal baik yang bisa dijadikan bahan pembicaraan (kalau memang harus banget ngajak ngobrol). Misalnya nih, lihat muka anak saya merah2, nggak usah lah komentar "Mukanya merah banget yaa....", kalau memang pengen banget basa basi tanya aja namanya siapa, atau umurnya berapa. Terus kalau minggu depan atau bulan depan ketemu lagi, nggak usah lah bilang "Masih merah2 yaaa...", you have no idea how it used to be much worse than it is now, and how much effort I put into it. Kalau nggak bisa cari perkataan yang membesarkan hati, mending nggak usah ngomong apa2 deh, serius...!

Friday, April 19, 2019

Life with eczema

Eczema is more than just red skin, rashes,  and itches...

It's many sleepless nights when your child tosses and turns incessantly because she was awoken by the itch and could not go back to sleep
It's hours and hours of crying because your child wants to scratch her skin but could not
It's figuring out ways to keep your child who is no longer a baby swaddled so she doesn't rip off her skin
It's waking up to blood-stained bedsheet, clothes, and mittens
It's cutting out bandages to put on your child's face before going to bed to protect her skin during sleep
And cutting it out again in the middle of the night when your child manages to get out of the swaddle and pull off the bandages
All of this happening while your other child is at the other room, and you pray he doesn't wake up and realized he is all alone
It's keeping your eyes on your child AT ALL TIMES to make sure that you catch her everytime she wants to scratch
It's wrestling with your child when she tries to scratch and you have to use all the strength you have to hold her down
It's leaving your other child unattended when you need 2, even 3 persons to hold your child down to reapply moisturizer on her itchy skin while all she wants to do is scratch the itch away
It's those stare you and your child gets in public places
It's the questions you get from people who can't hold down their curiousity.."What's wrong with her face?", or "Why is her face so red?"
And the insensitive comments like "Oh she's allergic to heat? So what's going to happen when she goes to school in the future?"